By the Time I was in Japan.. part 1

Jepang… siapa sih yang nggak kenal negara maju yang terkenal sangat disiplin dan bersih ini? Meskipun tak pernah berambisi ke sana, Alhamdulillah saya diberi kesempatan ke negara sakura tersebut tiga kali, di mana kesempatan pertama saya tolak karena terlalu mendadak dan bayar penerbangan sendiri, no thanks:D, maklum mahasiswa pas-pasan. Di sini saya ingin bercerita pengalaman yang terbilang basi tapi masih terngiang-ngiang. Hahahaa. Saya tidak akan menceritakan secara lengkap itin trip saya di Jepang karena saya memang bukan nge-trip, tapi urusan kuliah dan pekerjaan. Hehee. Gak seru banget ya? Ya dibikin seru dong!

Pertama ke Jepang waktu itu ketika fall to winter season Bulan November 2013 karena ikutan SOKENDAI winter school di JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) dan NAOJ (National Astronomical Observatory of Japan) yang daftarnya agak iseng-iseng. Kenapa iseng? Karena saya awalnya berambisi internship di NASA dan ASIAA tapi tidak diterima, hiks hiks, padahal udah wawancara via skype sama beberapa teman yang daftar itu juga. Karena sudah terlanjur muak banyak menulis motivation letter, jadilah saya taruh di SOKENDAI yang hanya 1 atau 2 paragraf singkat tapi Alhamdulillah, rejeki gak kemana. Dan waktu itu saya juga dalam masa-masa galau karena belum dapat beasiswa untuk studi lanjut sedangkan teman seperjuangan saya, hesti, hmm jangan tanya, she passed it with flying colors :D.

Winter school trip companion

Yak, paspor sudah di tangan dan menjamur karena jarang dipakai dari tahun 2011, sedangkan visa tinggal mengajukan karena semua berkas dukungan sudah dikirim oleh pihak Jepang via post. Kedubes Jepang di Jakarta juga oke pelayanannya, dibanding kedubes Ceko yang ngantrinya ngemper pinggir jalan. E-ticket Korean Air Jakarta-Incheon-Narita PP sudah masuk email juga. Aaaak enak sekali Korean Air, mungkin karena kerja sama dengan Garuda jadi nyaman sekali daaaan mampir Korea! Hahahaha.

Flight with Korean Air

Betapa baiknya penyelenggara SOKENDAI ini, totalitas. Pas sampai sana dikasih amplop yen juga buat makan siang dan jajan, Nyam! Hotelnya pun sudah disediakan di dua lokasi winter school yaitu Sagamihara, Kanagawa dan Mitaka, Tokyo. Dan tiap ganti lokasi penginapan, hotelnya selalu dikasih private alias satu orang satu. Berbeda sekali waktu di Ceko dulu tidur di lodge dan hostel sekamar 4-8 orang, orang Jepang sangat menghargai privasi. Semuanya ada plus minusnya sih, tentu sajooo. Dan selain kecanggihan transportasi umum dan kebersihan, jujur saya mengagumi toilet Jepang yang banyak tombolnya.

tombol-tombol toilet Jepang

Karena terbuai dengan kenyamanan dan kelancaran proses persiapan, jadi saya tidak mempersiapkan itinerary apapun. Ditambah lagi saya dapat beberapa kawan dari Indonesia (Sulis, Dika, Hilmi, Tiwi (teman astro ITB), Halim (ITT Telkom, ternyata adik kelas SMA), dan Ari (Penerbangan ITB)), membuat saya tambah terlena ngikut mereka saja nanti. Satu hal yang membuat saya tidak nyaman dalam perjalanan berangkat, saya diare karena suhunya nge drop dingin sekali di sana, sampai-sampai bolak balik KM bandara dan dikasih norit sama Halim. Karena panik dan buru-buru saya yang belum pernah konsumsi norit asal baca petunjuk “swallow” saya pikir dikunyah. Jadilah mulut saya hitam karena ngunyah 12 butir norit, padahal harusnya ditelan :/ Huhuhu.. Tapi asli, manjur, diare pergi meskipun tetap kedinginan. Longjon, jaket, dan penutup kuping sudah saya kenakan sampai tampak alay padahal belum ada salju. Tapi memang kata orang-orang Jepang saat itu cuaca sedang tidak normal, teman saya yang tidak pake penutup kuping dan syal sampe menggigil di pojokan dekat vending machine. Perjalanan dari Narita ke Sagaihara kami lalui dengan bus bandara dan jalan kaki di kerumunan orang berjalan yang semakin lama semakin sepi karena Kanagawa tidak sepadat Tokyo. Jam 8 malam saja sudah sangat sepi.

Lihatlah wajah mereka yang kathuken dan gemetaran. hoahahahaa

Ada suatu pelajaran yang dapat saya ambil dari perjalanan awal ketika kami mencari hotel. Waktu itu spontan salah satu dari kami pasti langsung nanya penduduk kalau nyasar, padahal salah satu teman sudah memperingatkan jangan asal nanya. Masalahnya adalah penduduk Jepang tidak semuanya bisa English bahkan basicnya, tapi keinginan mereka untuk menolong sangat tinggi. Jadi, karena orang yang kami tanyai itu tidak bisa berbahasa Inggris, jadi dia mengantar kami sampai dekat Hotelnya, sangat merepotkan. So, lebih baik jika mau bertanya arah atau lokasi, nanya dulu “Do you speak English?” Kalo dia manggut atau bilang “chotto” atau semacamnya berarti bisa dilanjut, tapi kalau udah geleng berarti stop, tanya yang lain kalau ada orang lain. Dan kosakata yang lumayan membantu saya kalo nyari makanan halal, “Konotewa nani desuka” (ini apaan ya?), kalo dijawab antara sakana (ikan), kinoki (jamur), berarti aman lah, huruf hiragananya juga mudah dikenali. Selanjutnya yak bahasa tarzan.

Epsilon Rocket, the one who carried Hayabusa mission

Kemudian adalah ketepatan waktu, jangan ditanya. Perhitungan timing subway dan kereta mereka sampai millisecond. Kejadian tak terlupakan malam itu adalah ketika kami sudah pindah ke Tokyo dan akan berangkat jalan-jalan ke Akihabara, karena ada yang ngebet liat AKB café dan Gundam café, yang ternyata gitu-gitu aja, lumayan sih suasana kotanya, banyak cosplay, hahaha. Karena jadwal school sangat padat dari pagi hingga mau magrib, jadi kami baru bisa jalan-jalan setelah magrib/isya. Itineraty sudah ditangan karena dibantu oleh Yutaka Senpai, mahasiswa master dari Todai mamen! Karena di Tokyo kita harus berjalan supercepat untuk efisiensi waktu, kami langsung gesek SUICA card masuk ke JR line menuju Akihabara sebelum kemalaman. Waktu itu Tiwi masih jalan di escalator sedangkan kami semua sudah di kereta menunggunya. Sampai pintu kereta hampir ditutup, Tiwi masih di ujung jalan. Alamaaaakkkk.. Deg deg an semua dan hebohlah kita, mau keluar takut rugi tapi kalau Tiwi tertinggal kami juga khawatir. Dan si Hilmi, Tiwi’s hero dengan gagahnya menahan pintu kereta agar tidak menutup sampai dilihatin semua orang di dalam kereta. Sayapun bengong dan melompong takut dimarahin, malu-maluin, tapi ikut heboh dan senang bukan main karena akhirnya Tiwi bisa masuk. Ketika kondisi sudah mulai tenang, terpampang tulisan di layar penujuk lokasi kereta “DELAY” dengan alsan tertera di bawahnya “person entry”. Waaaaaaaaaaaaaaaaakkk!!!! Untung orang-orang Jepang di sekitar kami waktu itu agak nyante meskipun beberapa mendelik. Hadeeeeuh, berharap kejadian ini tak terulang lagi.

Padat merayap jam pulang kerja

Tapi terulang dan lebih parah!

Waktu akan pulang, segalanya sudah kami persiapkan dengan baik agar tidak sampai telambat ke Bandara pagi buta. Narita Express (Tokyo-Narita) yang harganya mirip shinkanshen sudah ditangan karena tidak ambil resiko telat penerbangan. Karena akan berangkat sekitar pukul 3/4 dini hari, saya tidak berani mengunci kamar sehingga pintu kamar diganjel dan saya tidur dalam keadaan lengkap dan sudah packing. Kenapa kami begitu trauma? Karena di tahun lalu, teman-teman kami yang ikut SOKENDAI hampir ditinggal pesawat Garuda karena harus pulang pagi buta juga. Dari ceritanya, salah satu teman saya sampai ingin buang passport agar dideportasi dan dipulangkan karena teman-temannya kurang sigap. Saya sudah minta tolong Sulis untuk membangunkan saya.

Saat itu, semua sudah beres dan terkendali, kecuali teman kami Leonard (NTU Singapore), yang ingin barengan ke Narita karena jadwal penerbangan sama. Karena lama, akhirnya ada yang berangkat duluan dan disusul yang lain karena kalau sampai tertinggal Narita express, habislah uang dan waktu kami, juga Korean air pulang. Untuk menuju kereta Narita Express, kami berangkat dari Mushashi sakai eki yang hanya 5 menit jalan dari hotel. Kami langsung masuk ke JR line dan belum ada tanda-tanda Leonard datang, tapi kami tetap naik kereta duluan ke stasiun berikutnya, berharap dai segera naik kereta selanjutnya dan nyusul.

Masalahnya adalah, teman kami, Dika membawakan tas Leonard di mana dia menaruh dompet, passport, dan mungkin HP nya juga di tas itu. Dan waktu itu, sebagian orang lain kaya aku juga baru tahu kalau tasnya dibawain sekaligus identitas2nya, dan dompetnya juga. Padahal kalau di LN, passport adalah pegangan kita. Ditunggu-tunggu hingga jadwal kereta kami pun Leonard belum muncul. Waaaaaah. Mana jaman itu internet di Jepang itu pelit sekali, sekarang sih udah mending di tiap stasiun diberi jatah wifi gratis 10 menit kalo gak salah, tapi dulu.. ampun dehn, bandara sekelas narita aja wifinya empot-empotan. Walhasil temenku pinjem HP orang jepang yang sedang nunggu kereta untuk akses FB dan memberi tahu untuk cepat datang. Karena tak kunjung datang, kami panik dan menitipkan tas Leonard ke penjaga stasiun. Duh, bermula mau bantuin bawain tas tapi malah jadi rempong karena yang dibawain tasnya gak muncul-muncul. Once again, kami tetolong dengan keterlambatan kereta Jepang yang gak umum dan diumunin pakai Bahasa Jepang alasan keterlambatannya. Selidik punya selidik, orang Jepang sebelah ngasih info dengan muka datar kalau kereta terlambat karena ada yang bunuh diri. WHAT!! Muka datar lho, itu artinya udah biasa. Ya iya sih, denger-denger di sana emang banyak harakiri, tapi kaaan, ah sudahlah yang penting tas leonard berhasil diamankan dan sekalilagi kami pinjam HP orang jepang untuk message FB, blg ke leonard kalau tasnya di stasiun.  Kemudian kami baru kontakan lagi setelah di Incheon, Korsel, mendapati kabar bahwa Leonard baik-baik saja dan berhasil mendapat pesan untuk mengambil tas di stasiun. Huft!

Tragedi lainnya adalah ketika Ari menyuruh kami membeli tiket di awal ketika mau ke Tokyo Tower, padahal kita pindah dari JR ke subway dan tiketnya jadi gak berlaku alias rugi. Hal ini sebenarnya bukan maslah yang signifikan karena Ari minta maaf dan juga menjanjikan akan mengganti setengah harga, tapi waktu itu kami travelling sama orang Filipina, Bam, yang selalu protes kenapa tiket JR dan subway gak bisa digunakan bersamaan, kemuan dua mbak-mbak rempong tapi baik super dari Pakistan yang hobinya minta difoto di tiap spot dan bilang “please wait” dengan logat mirip Indianya.

Tokyo Tower

Dibalik tragedi itu semua, Autumn di Jepang sangat indah. Daun ginko dan maple bertebaran dari yang kuning, orange, emas, hingga merah. Saya sendiri baru tahu daun ginko itu bentuknya seperti itu, kalau ginko biloba sih sering denger, biasanya ada dalam minuman yang meningkatkan kecerdasan/daya ingat semacam curcuma. Pantas saja, kata Yutaka senpai, Ginko adalah lambang dari Tokyo Daigaku (Todai)/ University of Tokyo, no. 1 di Jepang.

Capture

Dan pada akhirnya juga saya berhasil mencapai Tokyo Tower dan naik Menara secara gratis tis karena berkenalan dengan bapak-bapak Jepang yang baik di subway. Saya memang sudah ingin ke Tokyo Tower semenjak nonton dorama Tokyo Tower yang tiap episodenya bikin banjir air mata.

Autumn in Japan

captured from the bus

Lalu winter schoolnya juga seru, banyak sekali orang-orang pintar dari berbagai negara, khusunya lecturer nya yang keren-keren. Waktu itu saya senang sekali diberi kesempatan mendengar langsung Sensei yang menjelaskan pembuatan receiver untuk radio telescope di ALMA.

receiver alma

Leave a comment